cari

Rabu, 16 Juni 2010

MUTIARA DI BALIK PESISIR - 1





MENYEBERANG MENUJU MUTIARA

Pagi yang cerah di hari Rabu, 2 Juni 2010. Kami berenam berangkat dari Kota Kretek—Kudus—ke Jepara. Pagi itu kami berniat untuk menyeberang ke Kepulauan Karimunjawa, yang katanya dijuluki sebagai ‘Mutiara dibalik Pesisir’. Rombongan—yang terdiri dari Adin, Arif, Arus, Eka, Jalu dan saya sendiri—berangkat dari Kudus jam 06.30 waktu setempat. Hampir tidak ada kemacetan atau halangan lain seperti lampu merah yang lama seperti yang biasa kita jumpai di Jakarta. Maka pukul 08.00 kami sudah tiba di Pelabuhan Jepara setelah sebelumnya mampir dulu ke ATM untuk mengambil uang tunai—karena menurut info di Karimunjawa tidak ada mesin ATM, sehingga harus membawa uang tunai yang banyak. KMP Muria terlihat sudah bersiap diri di pelabuhan. Kami yang baru pertama kali menyeberang menggunakan kapal fery, sedikit gugup juga membayangkan bagaimana kapal segede itu terombang-ambing di lautan selama 6 jam. Maka tak ayal beberapa dari kami sudah mulai mual dan muntah-muntah, padahal perjalanan belum juga dimulai; maklum ndeso. Tiket VIP seharga Rp 58.250,- pun sudah kami pegang, ditambah retribusi masuk pelabuhan sebesar Rp 2.000,-. Sebagai informasi, tiket non VIP yang disediakan (Cuma ada dua kelas, VIP dan non VIP) seharga Rp 30.000,-

Tepat pukul 09.01 KMP Muria bertolak dari Pelabuhan Jepara, mengarungi laut luas menuju Kepulauan Karimunjawa. Menit-menit awal pemberangkatan kapal kami lalui dengan sedikit mual karena tidak terbiasa dengan gelombang laut. Baru setelah tiga puluh menit kemudian kami bisa menyesuaikan diri. Perjalanan 6 jam rasanya tidak seru kalau hanya dilalui dengan duduk-duduk di ruangan ber-AC, nonton TV dan makan camilan, maka naik ke geladak dan menikmati perjalanan dari atas kapal merupakan pilihan yang layak dicoba. Dimana kita bisa melihat kapal melaju membelah lautan lepas, meninggalkan deretan buih di atas air laut. Beberapa turis asing—bule—juga kami lihat melakukan hal yang sama. Waktu itu kebetulan cuaca sedang agak panas, maka memakai sunblock sangat dianjurkan. Selain menikmati perjalanan, berfoto-foto ria tentu saja menjadi pilihan yang menarik, terutama bagi kami yang suka narsis di depan kamera. Tapi ingat, jangan bergaya bugil di depan kamera Anda, karena disamping malu karena banyak orang, juga dikhawatirkan video tersebut bakal beredar di internet seperti kasus para artis yang marak belakangan ini.

Sebenarnya dalam hati saya sedikit merasa ciut juga, membayangkan bagaimana selama enam jam kedepan kami akan berada di atas kapal ini. Sederet pertanyaan parno saya pun bermunculan: bagaimana jika ... bagaimana jika ... bagaimana jika .... dst, apalagi baru kali ini saya menggunakan jasa penyeberangan KMP Muria yang mempunyai motto we bridge the nations—bangga menyatukan nusantara. Tapi ternyata, memandang lautan luas bisa memberikan ketenangan tersendiri bagi saya. Ombaknya, riaknya, garis cakrawala dan Pulau Jawa yang terlihat semakin mengecil; membuat saya ingin mengutip sebaris lirik lagunya MLTR :

Sitting here all alone, in the middle of nowhere .....
Meski saat itu saya tidak sendiri—tentu saja tidak, kami berbanyakan, meski tak sebanyak penumpang kapal Titanic—tapi tetap saja berada di tengah lautan lepas membuat saya merasa ‘kecil’.

Pukul 13.30 kapal kami menepi di pelabuhan Karimunjawa. Para penumpang pun berebut untuk turun. Mengingat kapal ini adalah satu-satunya penghubung kepulauan Karimunjawa dengan dunia luar, maka sepertinya kedatangan kapal ini sangat ditunggu-tunggu oleh penduduk Karimunjawa. Selain membawa barang-barang kebutuhan sehari-hari yang tidak bisa diproduksi sendiri, kapal ini juga membawa turis yang membawa ‘uang segar’ bagi para penduduk Karimunjawa. Tak ayal begitu turun dari kapal, banyak warga sekitar—yang ternyata kemudian saya ketahui sebagai semacam ‘pemandu wisata’ menawarkan jasa penginapan. Penginapan yang tersedia beragam jenisnya. Ada hotel mewah dengan view pantai dengan harga yang tentu saja ‘mewah’; ada hotel sederhana—fasilitas andalannya adalah AC dan listrik penuh seharian—dan adapula homestay—yaitu rumah-rumah penduduk yang disewakan bagi para turis. Menimbang budget yang tersedia, kami pun memilih homestay untuk tempat bermalam kami selama empat hari kedepan. Berupa kamar sederhana tapi rapi, dengan kipas angin dan cermin kecil di dalamnya, kamar mandi terpisah dan listrik yang sama seperti penduduk pada umumnya: hanya menyala pada malam hari. Maka bagi Anda yang ingin berlibur ke Karimunjawa, disarankan tidak perlu membawa gadget yang berlebihan seperti laptop karena di samping daya listrik yang terbatas, juga perlu diingat bahwa berwisata di Karimunjawa artinya berwisata di lautan (baca: air), jadi saya rasa berada di kapal di tengah laut dengan membawa laptop untuk sekedar online atau mengerjakan sesuatu saya pikir bukan ide bagus. 

Homestay yang kami pilih bernama Homestay Prapatan, kepunyaan Bapak Jailani (bagi yang berminat bisa menghubungi Yovie di nomor +6281357234344). Terletak di tengah-tengah (Kota) Karimunjawa, tidak terlalu jauh ke pelabuhan, juga tidak terlalu jauh ke pusat kota. Sebenarnya homestay Prapatan ini kami pilih atas rekomendasi dari seorang warga Karimunjawa yang kebetulan satu kapal dengan kami. Kami yang berenam menyewa 2 kamar (sekamar bertiga), dengan harga sewa Rp 60.000,- permalam. Karena kecapaian, kami memilih untuk beristirahat sebentar sebelum mulai menjelajah di Karimunjawa.

KOTA KECAMATAN

Karimunjawa sebenarnya adalah nama sebuah kecamatan. Kecamatan Karimunjawa adalah sebuah tempat yang yang luasnya tidak seberapa, bisa dikelilingi dengan jalan kaki hanya dalam waktu 20 menit. Sebuah kecamatan di tempat terpencil, desa bukan, kota juga bukan. Sore harinya setelah mandi dan berganti baju, kami menyempatkan diri untuk mencari makan di pusat kota. Pusat kota Karimunjawa adalah sebuah komplek pemerintahan Karimunjawa (terdiri dari kantor camat, kantor petinggi, SD, kantor militer, dan kantor telkom) yang di depannya adalah sebuah lapangan sepakbola, pelabuhan dan tempat pelelangan ikan. Nah, di depan lapangan tersebutlah tempat para penjual makanan menjajakan dagangannya. Biasanya ramai pada sore hingga malam hari. Dan setiap malam minggu, di depan kantor kecamatan diadakan pemutaran film. Orang-orang sekitar menyebutnya layar tancap—yang sebenarnya adalah sebuah film yang diputar dengan komputer dan disajikan dengan infokus pada sebuah layar besar.

Sabtu, 12 Juni 2010

Somebody wants you,
Somebody needs you,
Somebody dreams about you every single night,
Somebody can't breath without you,
It's lonely...
Somebody hopes someday you will see:
that somebody's me ...