cari

Rabu, 21 Juli 2010

Membaca

Waktu itu tahun 2005, saya sudah lulus SMA dan baru diterima di sebuah sekolah tinggi kedinasan di Jawa Barat. Proses daftar ulang dan sebagainya sudah selesai, urusan pemondokan sudah selesai, tinggal berangkat untuk melaksanakan perkuliahan. Sehari sebelum keberangkatan saya, saya mengatakan kepada ibu saya bahwa saya merasa ketakutan. Saya takut tinggal di kota, jauh dari keluarga, jauh dari rumah, dan yang pasti jauh dari ibu saya sendiri. Ibu saya yang melihat kekhawatiran saya, mengatakan bahwa pergi kemanapun di dunia ini, tidak perlu takut selama kita bisa membaca.

Sebagai seorang yang tidak berpendidikan tinggi, saya tahu bahwa 'membaca' yang dimaksudkan oleh ibu saya adalah bisa membaca kemana kita pergi, secara gramatikalnya mungkin membaca arah/petunjuk jalan. Dalam pembicaraan itu ibu saya mencontohkan bahwa kalau kita mau sholat, carilah petunjuk yang bertuliskan masjid/musholla. Terus terang saya sangat senang diberi nasehat seperti itu oleh ibu saya sendiri. Meski tidak terungkapkan secara langsung, saya tahu bahwa ibu saya ingin menguatkan saya--dan mencoba menghapus ketakutan saya--lewat nasihatnya. Dan saya pegang nasihat itu sampai detik ini.

Meski saat itu yang dimaksudkan oleh ibu saya adalah sekedar membaca arah tujuan, namun sekarang saya bisa mengambil sisi lain dari nasihat ibu saya itu. Mungkin juga saat itu ibu saya bermaksud bukan hanya seperti yang saya tangkap. Sekarang saya jadi tahu dan semakin paham bahwa kata membaca ternyata mempunyai banyak pengertian. Saya kemudian mengartikan 'membaca' sebagai membaca situasi, membaca keadaan. Yang lebih jauh saya definisikan sebagai 'menempatkan diri'. Ibu saya berharap agar saya bisa menempatkan diri, dalam situasi apapun--tentu saja dalam hal-hal yang positif. Seperti yang dikatakan sebuah peribahasa, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung . Saya sungguh sangat bahagia bahwasanya ibu saya bisa memberi nasihat yang tidak saya sangka bermakna sedalam itu. Dan sampai sekarang saya masih sangat ingat bagaimana ibu saya mengatakan nasihatnya itu.

Memang hal yang tidak mudah menempatkan diri--dalam situasi apapun. Terlebih apabila kita dihadapkan pada lingkungan yang beragam. Beragam budaya dan kebiasaan. Sebab ternyata lain orang lain pembawaan. Maka disitulah peranan 'membaca' sangat berperan. Yaah, meski saya juga masih belajar dan terus belajar. Sebab ternyata sangat tidak mudah mengerti orang lain.

Maka tak heran kalau yang diperintahkan Tuhan pertama kali kepada manusia adalah untuk membaca. Ternyata bukan hanya sekedar membaca dan menulis, lebih luas lagi peranan 'membaca' sangat berarti bagi kehidupan manusia ...
Semoga kita menjadi orang yang bisa menempatkan diri dalam situasi dan kondisi apapun ...

Selasa, 20 Juli 2010

Siapa yang salah?

Ketika Anda kesal, marah, jengkel, sebel dan kondisi lain yang sejenis, apa atau siapa yang Anda persalahkan? Orang yang membuat Anda kesal? Orang lain? Keadaan?
Saya pribadi tidak suka menyalahkan orang, tidak pula suka menyalahkan keadaan. Bagi saya orang dan keadaan itu kebetulan saja berada dalam waktu bersamaan yang kebetulan pula terjadi suatu kondisi yang membuat saya kesal. Namun teori saya ternyata ada jeleknya juga, karena kadang saya malah menyalahkan diri saya sendiri, sehingga berujung pada pertanyaan kenapa, kenapa dan kenapa ...

Ingin sekali ketika ada orang yang membuat kita kesal, mempermalukan dan membuat kita marah saya bisa membalasnya, di waktu, tempat dan kondisi yang sama. Atau ingin sekali suatu saat saya bisa menunjuk-nunjuk mukanya sambil memakinya, meluapkan segala rasa kesakithatian saya ... tapi tidak bisa. Ujung-ujungnya saya menyalahkan diri saya sendiri. Saya takut suatu ketika, saya akan berteori : orang lain selalu benar dan saya selalu salah--mudah-mudahan tidak. Saya takut menyalahkan keadaan saya, terlahir kedunia dan hidup didalamnya. Saya takut saya membenarkan ucapan filsuf Yunani yang mengatakan kalau kesalahan terbesar adalah lahir dan hidup di dunia ini ....

Semoga ...

--E7/16 : 20 Juli 2010--

Senin, 19 Juli 2010

Ulang Tahun

Hari ini salah satu sahabat saya berulang tahun, ke-23. Mungkin di hari ini pula jutaan manusia lainnya di seantero jagat juga berulang tahun. Tidak masalah ulang tahun yang ke berapa, pokoknya berulang tahun. Kadang saya penasaran, apa yang orang lain rasakan ketika sedang berulang tahun. Apa sama rasanya ketika saya berulang tahun? Apa mereka memikirkan hal yang sama dengan yang saya pikirkan ketika berulang tahun?

Kalau pengertian ulang tahun menurut Anda adalah meniup lilin dan memotong kue, berarti sejatinya saya tidak pernah berulang tahun. Terus terang saya tidak pernah merayakan ulang tahun yang seperti itu. Pernah sih, beberapa kali, itu pun karena teman-teman di kantor yang menyiapkannya untuk saya. Kalau pengertian ulang tahun menurut Anda adalah menerima kado dan hadiah dari orang lain, maka sejatinya saya pun jarang merayakan ulang tahun. Pernah sih beberapa kali menerima kado, bahkan sampai ulang tahun terakhir saya kemarin, cuma saya tidak menganggap itu sebagai esensi dari ulang tahun.
Tapi kalau pengertian ulang tahun menurut Anda adalah bertambahnya umur, berkurangnya usia dan bertambahnya kebijaksanaan, maka saya sangat setuju.

Hampir setiap mendekati tanggal ulang tahun saya, saya merasa deg-degan. Deg-degan, kira-kira ada kejadian apa di saat saya ulang tahun. deg-degan pula bahwa ternyata jatah saya di tahun itu telah berkurang. Deg-degan, apa orang-orang di sekeliling saya ingat dengan hari lahir saya, meski tanpa publish di situs jejaring sosial. Deg-degan apa ibu saya sendiri ingat dengan hari lahir saya--mengingat ibu saya selalu lupa dengan tanggal lahirnya sendiri. Deg-degan apa keluarga saya mengingat tanggal ulang tahun saya, dst dst. Mendekati hari ulang tahun bagi saya sama dengan was was.

Menurut satu kata bijak : tua itu pasti, tapi dewasa itu pilihan. Setiap orang pasti mengalami penambahan umur (baca: menua), pasti. Tetapi tidak semua orang memilih untuk belajar dewasa. Ya, ulang tahun bagi saya pada hakikatnya adalah penambahan umur dan pengurangan usia--saya tidak tahu apakah pemakaian kata umur dan usia ini sudah tepat atau terbalik. Saat berulang tahun itulah saat saya buat mereview proses hidup saya selama satu tahun terakhir. Target apa yang telah saya capai, hal-hal apa saja yang telah saya lakukan dan apa yang sudah saya peroleh dan kumpulkan selama itu. Ya, meski review saya selalu mengalami kerugian (baca: selalu mengecewakan) setidak-tidaknya saya sudah berusaha untuk mengevaluasi hidup saya sendiri. Tentu saja dengan harapan di tahun depan bisa tercapai dan bisa lebih baik.

Itu makna ulang tahun bagi saya, meski penuh dengan dag dig dug. Dan lewat tulisan ini, saya ingin mengatakan kepada sahabat saya yang berulang tahun itu, mudah-mudahan di usia yang ke 23 ini bisa membuatmu menjadi lebih baik, bukan pengulangannya, tapi pengurangannya. Karena sejatinya berulang tahun adalah berkurangnya jatah usia...
Semoga kehidupan kita semua bisa menjadi lebih baik, amin ..

Kabel E7/16

Kesendirian

Apa yang Anda pikirkan saat sendiri? atau apa yang Anda lakukan ketika sendiri? atau pertanyaan yang paling saya suka: apa yang anda sukai dari kesendirian (baca: sepi)??

Terus terang, saat-saat tertentu dalam hidup saya, saya suka menyendiri. Menjauh dari keramaian dan hiruk pikuk yang kadang membuat saya merasa pening. Saya suka sepi, meski tak jarang pula saya merasa kesepian. Tapi dalam kesendirian itulah saya menemukan waktu yang utuh, benar-benar utuh untuk diri saya sendiri. Saya bisa melakukan apa saja yang saya suka, saya bisa membaca, saya bisa menulis, menonton film, bahkan sekedar merapikan buku dan kamar yang berantakan. Intinya saya sangat menikmati saat sendiri, tidak ada orang lain di sekeliling saya. Maka sejujurnya saya kadang sangat tidak suka ada orang lain yang datang secara tiba-tiba dan menginterupsi kesendirian saya, hal itu akan dengan sangat mudah mengubah mood saya.

Tentu saja hal itu tidak saya lakukan sepanjang waktu dalam hidup saya selama ini. Saya bukan autis. Saya hanya menyukai saat-saat dimana saya butuh menyendiri. Dan tentu saja pula saya mempunyai teman dan sahabat untuk sekedar bercanda, have fun dan berbagi. Saya pikir sangat normal ...

Satu hal lagi, saya juga suka saat-saat dimana saya berada diantara orang-orang yang tidak saya kenal, tetapi saya tidak mempunyai kepentingan yang sama dengan mereka. Misalnya saat saya berada di kereta--KRL--, begitu banyak orang yang mungkin semuanya tidak saya kenal, dan masing-masing mempunyai tujuan sendiri. Tapi saya tidak suka ketika saya berada di sebuah acara, sendiri, saya tidak mengenal orang-orang yang lain, misalnya saya hanya mengenal yang punya acara saja: membuat saya mati gaya.

Well, menurut saya pribadi setiap kita butuh saat-saat sendiri .... untuk sekedar berkontemplasi atau melakukan hal-hal yang menyenangkan ....

So, nikmati 'kesendirian' mu ...

Minggu, 18 Juli 2010

Waktu

Apa yang Ada di benak Anda tentang waktu?
Suatu ketika saya pernah berpikir, sebenarnya waktu yang berjalan meninggalkan kita atau kita yang berjalan menjauhi waktu? Mari kita melihatnya dari konsep dimensi. Seringkali kita mendengar kata dimensi waktu. Waktu adalah sebuah dimensi. Pertanyaannya, kita yang berada di dimensi waktu atau waktu yang berada di dimensi kita?Saya tidak sedang berbicara secara ilmiah, saya hanya ingin menyampaikan pendapat saya secara pribadi. Waktu dan kita (baca: kehidupan manusia) adalah dua hal yang terpisah. Waktu sendiri, dan kita berdiri sendiri. Tetapi waktu ada karena kita ada, bukan sebaliknya: kita ada karena ada waktu. Sepanjang kita ada--di dunia--waktu akan tetap ada. Bahkan ketika kita tiada--di dunia--waktu akan tetap ada. Kita membutuhkan waktu, dan sepanjang pengalaman saya, waktu tidak peduli pada kita. Kita membutuhkan waktu dalam hal mengetahui ukuran: usia/umur. Hanya sejauh itu. Sebab waktu tidak bisa digunakan untuk mengukur tingkat kualitas, ia hanya digunakan untuk mengukur kuantitas. Kita hanya menggunakan waktu untuk mengukur berapa lama, bukan seberapa jauh. Tidak ada teori semakin tua seseorang, pasti semakin bijak. Mungkin saya setuju seandainya peribahasa ilmu padi didepannya diberi kata sebaiknya: sebaiknya seperti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk. Sebab jika kata merunduk kita artikan sebagai bijaksana, tidak sombong--maka tidak tepat. Buktinya banyak manusia yang semakin tua malah semakin menjadi-jadi.

Kita hanya membutuhkan waktu untuk sebatas itu. Pada kenyataannya waktu tidak perduli pada kita. Ia terus berjalan, berjalan dan berjalan, tanpa peduli kita terseok-seok terjatuh-jatuh mengiringinya.Ia sama sekali tidak peduli. Ia hanya berjalan dan mencatat siapa-siapa yang tumbang dan menyerah dalam perjalanannya.
Maka, kita hanya butuh waktu sebagai ukuran kuantitas, bukan kualitas. Janganlah menjadikan waktu sebagai tolok ukur keberhasilan akan sesuatu, karena setiap orang punya waktunya sendiri-sendiri. Menilai ketertinggalan kita terhadap waktu pada dasarnya disebabkan karena kita membandingkannya dengan manusia lain, bukan terhadap waktu itu sendiri...

So, kita adalah kita dan waktu adalah waktu ...

==Kabel E7/16==

Jumat, 16 Juli 2010

ketakutan--kehilangan

Apa yang dirasakan orang ketika menyayangi sesuatu? Rasa takut kehilangan. Apa yang dilakukan orang ketika mencintai sesuatu? Rasa takut... takut tidak bisa mencintainya lagi, takut tidak bisa bersamanya lagi dan takut pada hal-hal yang akan memisahkannya dengan hal yang dicintainya itu.
Mungkin bagi sebagian orang yang pernah mengalami rasa sakit karena kehilangan pernah berpikir bahwa seandainya dulu aku tidak pernah mengenalnya, tidak pernah mengetahui keberadaannya hingga aku harus mencintai dan menyayanginya.
Ketakutan terhadap sesuatu menimbulkan kecemburuan. Kecemburuan memantik kecurigaan, dan seterusnya-dan seterusnya.

Intinya adalah rasa takut.
Seperti apa yang saya alami sekarang. saya begitu takut kehilangan. Bukan kehilangan orang yang saya cintai, karena pada dasarnya saya mencintai semua orang, bahkan musuh-musuh saya. Saya mencintai secara universal. Saya hanya takut kehilangan orang-orang yang mencintai saya. Meski saya mencintai semua orang secara universal, saya yakin tidak mudah mendapatkan cinta dari orang lain. Ketidakmudahan itulah yang menyebabkan saya merasa takut. Saya takut suatu ketika ibu saya tidak mencintai saya lagi, hingga saya harus merasa menjadi anak yatim meskipun ibu saya masih ada. Saya takut saya kehilangan cinta dari istri dan anak-anak saya suatu saat kelak, hingga saya merasa segala pengorbanan dan kerja keras saya sia-sia. Saya takut kehilangan cinta dari harta benda saya hingga mereka semua menjauh dan saya menjadi sangat miskin. Saya takut kehilangan cinta dari teman-teman seperjuangan, baik di tempat kerja, di kampus, di kajian-kajian yang saya ikuti, hingga saya merasa sendiri dan harus berjuang dalam sepi. Saya takut kehilangan cinta dari saudara-saudara saya di dien (baca:agama) yang saya anut, hingga saya harus kehilangan arah dan tujuan, karena sejatinya karena merekalah saya tahu apa hakikat hidup. Dan sejujurnya, saya sangat takut kehilangan cinta dari Tuhan saya, hingga saya harus merasa menjadi mahluk kerdil yang percaya pada-Nya tapi tidak diakui oleh-Nya.
Dan seringkali saya merasa takut pada ketakutan itu sendiri. Ketakutan yang kadang membuat saya menjadi seperti orang tidak waras. Ketakutan yang kadang membuat saya bertingkah berlebihan, Ketakutan yang selalu membuat saya cemburu, curiga ....

Dan sekarang, saya pun takut ketika harus mengungkapkan ini semua kepada dunia ....

---Kabel E7/16---

Senin, 12 Juli 2010

Kesalahan Terbesar dan Terindah

Mungkin seandainya aku tidak berkirim surat kepadanya, saya tidak akan mendapat pengalaman seberharga ini ...

Adalah seorang sahabat, saya bertemu dia kurang lebih lima tahun yang lalu di sebuah kota di jawa tengah. pada waktu itu kami sama-sama akan mendaftar kuliah di sebuah sekolah tinggi kedinasan di negeri ini. kami berkenalan karena merasa senasib dan sama-sama bermalam di masjid. yaah, sekedar perkenalan biasa, karena waktu itu saya masih takut berkenalan dengan orang asing. Sayangnya kami berdua sama-sama tidak lulus di ujian itu. Maka bermalam di masjid waktu itu hanya menjadi kenangan belaka, tanpa hasil. Pertemanan kami dijalin hanya lewat sms, dan korespondensi. Kebetulan saya hobi korespondensi, meskipun sudah ada email, berkorespondensi tetap hal yang menyenangkan buat saya pribadi. Waktu itu saya diterima di sebuah sekolah tinggi kedinasan lainnya, dan seingat saya dia tidak diterima lagi--waktu itu kami mendaftar di tempat yang berbeda. Waktu terus berjalan, dan kami pun kehilangan jejak masing-masing. Nomor HP ilang, alamat pun entah kemana.

Tanpa terasa lima tahun sejak perkenalan itu telah berlalu. Padahal selama masa itu saya sudah dua kali pindah tempat kerja, beberapa kali pindah bagian dan banyak hal lain yang terjadi...kecuali nikah ... ;p
Beberapa waktu yang lalu saya iseng membuka catatan lama dan di salah satu halamannya saya menemukan alamat rumahnya. Naluri Korespondensi saya--yang saya terjemahkan sebagai keinginan untuk melanjutkan silaturahmi--kembali muncul. Dan saya pun menulis surat untuknya.

Beberapa hari setelah mengirim surat itu--lewat kantor pos--saya mendapat telepon dari nomor tidak dikenal, dan ternyata itu nomornya. Saya sempat shock, tadinya saya tidak menyangka akan secepat itu mendapat respon atas surat saya. Maka pertemanan kami kali ini tidak dengan korespondensi, tetapi dengan telepon dan sms.

Dari ceritanya sekarang dia berada di salah satu pulau di luar jawa, bekerja. dan beberapa bulan setelah surat itu dia mengabarkan bahwa dia akan pulang ke kampungnya di Jawa. Kami pun sepakat untuk bertemu. Saya sempat ragu, bertemu seorang sahabat--yang sebenarnya sudah seperti saudara sendiri--tetapi di sisi lain saya sebenarnya juga tidak mengenalnya. Tidak mengenalnya secara fisik, sempat terfikir saya akan ditipu--maklum, hidup di jakarta kadang harus mempersiapkan kemungkinan terburuk.
Dalam keragu-raguan itu saya menguatkan diri saya, bahwa niat saya adalah menjalin silaturahmi dengannya. Dan kami pun bertemu. Seingat saya dia tidak berubah dari seperti ketika kami bertemu pertama dahulu, hanya saja sekarang lebih gemuk dan agak putihan sedikit.

Bukan itu yang sebenarnya ingin saya ceritakan. Saya ingin menceritakan mengenai sosoknya. Dia adalah Soe Hok Gie masa kini bagi saya. Dia tipe pemberontak yang tidak mau bergantung dari belas kasihan orang lain. Tiga kali gagal mendaftar di sekolah kedinasan dan dua kali gagal mendaftar sebagai CPNS mungkin membuatnya sakit hati. Maka saya tidak heran ketika dia menunjukkan ketidaksukaan terhadap PNS--macam saya. Tetapi dari kesakithatiannya itulah dia berjuang untuk hidupnya. Pekerja keras yang juga keras kepala, itulah dia. Seorang ambisius yang bertanggung jawab. Ramah, dan sayang pada keluarganya. Dia adalah sosok pekerja keras yang banyak belajar dari masa lalu.

Dan ternyata sifat-sifatnya itu dia dapatkan dari keluarganya. Ayahnya mendidiknya untuk tidak bergantung dari belaskasihan orang lain. Dia bercerita kalau dia tidak mau kesuksesan yang diraihnya didapat karena jasa orang lain. Karenanya dia benar-benar berjuang sendiri untuk memenuhi kehidupannya. Kehidupannya yang dari dulu memang sudah keras. Sejak SD dia terbiasa berjualan. Ketika lebaran berjualan toples, ketika tahun ajaran baru berjualan buku, bahkan ketika pulang sekolah dia rela menjadi kernet angkot untuk sekedar membeli buku sekolahnya. Dia yang terbiasa membawa nasi ke sekolah untuk menghemat makan siang. Dia yang terbiasa dengan makanan yang biasa-biasa saja. Dia yang sederhana, pekerja keras, dan keras kepala.
Kesibukannya bekerja tentu saja tidak menghalangi dia untuk berprestasi. Dari SD hingga SMA dia sudah terbiasa dengan gelar juara. Bahkan--menurut cerita ibunya--ketika SD dia sudah menjadi juara mapel matematika tingkat kabupaten.
Sampai disini saya semakin salut ...

Dan hal lain yang saya belajar darinya adalah tentang keramahan. Dia yang--sepertinya--mengenal hampir semua orang di desanya, dia yang bisa beramah-tamah dengan semua orang yang dia temui--padahal saya sangat tidak bisa melakukannya....dsb dsb

Maka, hanya rasa kagum yang bisa saya berikan kepadanya. Dan sampai disini ternyata saya menemukan jawabannya. Jawaban kenapa saya harus bertemu orang asing yang ternyata adalah guru kehidupan bagi saya, guru tentang kesederhanaan, guru tentang kerja keras, kekeluargaan dan kasih sayang. Terimakasih sahabat,, surat itu memang kesalahan terbesar saya...kenapa saya baru menuliskannya sekarang-sekarang ini, tidak dari dulu. Dan kamu tahu, bahwa itu adalah kesalahan terindah ... karena saya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga untuk saya coba terapkan di kehidupan saya ...
terimakasih

Jumat, 09 Juli 2010

entah,,

entah,
entah ini aku atau engkau..
entah ini rasa atau hanya sebuah asa..

ya,
entah,
hanya sebatas entah,,

tanya,
ku tanya bimbang,
namun ternyata sepi menjawab,
hanya dengan sebuah entah,
hanya dengan sebait resah..

ragu,waktu,aku
dan dirimu pun berlaku
meninggalkan sebuat entah..
berselimutkan resah..






akankah hanya berakhir dengan seberkas entah?
entah,,