cari

Jumat, 17 September 2010

in the middle of nowhere: FILSAFAT ANGKA

in the middle of nowhere: FILSAFAT ANGKA

FILSAFAT ANGKA

Manusia berawal dari suatu ketiadaan, lalu terlahir, tumbuh, tua dan kembali menjadi tiada, ia ibaratnya angka nol ...

Angka satu menunjukkan eksistensi Tuhan yang satu. Satu adalah asal segala angka. Dua adalah satu sebanyak dua. Tiga adalah satu sebanyak tiga, dst. Yang asli hanyalah satu. Sekarang mari kita jajar angka nol. Tiga nol, seratus nol, satu kilometer angka nol, nilainya tetap nol juga. Nol tak punya makna. Ia adalah kehampaan. Tapi mari kita coba jajar angka nol di belakang angka satu. Satu nol menjadi sepuluh. Enam angka nol menjadi sejuta, dst.

Hidup kita sesungguhny tak punya makna jika kita mengorientasikan segala perbuatan kita untuk selain-Nya. Untuk jabatan, kekuasaan, gelar, wanita, atau apapun selain-Nya. Karena itu semua adalah kenihilan dan maya.

Bukankah segala sesuatu selain-Nya adalah nol? Mulanya kita tiada dan kembali menjadi tiada. Hidup kita hanya akan bermakna ketika kita mengorientasikan segala perbuatan kita hanya untuk mengabdi kepada-Nya,

Senin, 13 September 2010

MENEMUKAN/MENGGUGAH JATI DIRI?

Lucu nampaknya jika saya membandingkan konsep saya tentang jati diri waktu dahulu (kalau boleh disebut sebagai zaman jahiliah) dengan konsep yang saya pahami sekarang ini. Dahulu saya mengira jati diri itu harus ditemukan lewat proses pencarian. Meskipun konsep saya tersebut tidak sepenuhnya salah; karena memang harus dicari, hanya berbeda dalam proses pencariannya. Berikut perbandingan konsepsi saya tentang jati diri waktu dulu dan sekarang, yang saya sajikan dalam paragraf perbandingan tidak langsung.

Dahulu saya benar-benar merasa belum menemukan jati diri saya yang sesungguhnya. Saya menjadi pribadi yang labil. Terkadang saya ngotot mengejar untuk menemukan jati diri saya. Tapi tak jarang pula saya merasa diri saya mapan (sebagai seorang manusia), namun anehnya saya merasa kosong dan hampa dalam diri saya. Pernah juga saya merasa tidak mengerti, cuek, bahkan pasrah akan apa kata orang tentang diri saya, tentang bagaimana saya harus bersikap, dsb. Saya terus merasa berubah-ubah. Saya bahkan kadang bertanya apakah nanti ada suatu ‘rasa diri’ yang benar-benar merupakan jati diri saya? Atau memang saya tidak terbuat dari ‘jati’? Hingga saya harus kembali meniti suatu pencarian, mencari suatu kemapanan yang saya sebut sebagai jati diri.

Saya selalu terperangah ketika sudah saatnya tangan kehidupan kembali menelusup zona kenyamanan saya. Mengganti lingkungan (pendidikan) saya, mendefinisikan kembali hubungan saya dengan orang-orang yang saya cintai, memutar arah menuju kawasan yang benar-benar tidak saya ketahui dan segala hal lain yang sanggup menohok saya kembali ke dasar pemikiran. Kembali ke dasar perasaan. Kembali bertanya-tanya. Tantangannya selalu sama; memperkuat benteng pertahanan tentang konsep diri yang telah saya bangun dengan susah payah atau merubuhkannya sekali lagi. Namun seringkali saya mudah tertipu oleh kehidupan. Saya sesunggunya telah berubah sekaligus terluka, bukan menjadi apa yang saya inginkan, melainkan apa yang efisien menurut kehidupan. Drama bikinan manusia di kehidupan ini boleh memiliki skenario yang itu-itu saja. Namun tanpa disadari saya telah mengikuti efieiensi kehidupan. Kehidupan yang apa adanya. Kehidupan alami.

Sewaktu-waktu dalam sesaat saya pernah bertanya-tanya, apa yang akan terhadi pada saya selanjutnya? Bisakah saya terus memeiliki pola kehidupan seperti ini? Bisakah saya bertahan? Bagaimana jika saya tidak mampu? Apakah saya telah menjadi pecundang dalam kehidupan ini? Pertanyaan sesaat itu selalu mengendap-endap. Menemani dengan setianya. Pertanyaan ini berdiam ketika diri saya sedang bahagia, dan bergejolak ketika diri saya sedang goyah-goyahnya. Pertanyaan sesungguhnya yang ingin saya ungkapkan adalah, apakah kehidupan saya ini masih akan selalu bisa terkontrol? Petualangan macam apa yang bakal menanti saya selanjutnya? Tantangan seperti apakah? Apakah saya masih perlu belajar untuk ‘secara menyakitkan’ mengubah jati diri saya? Seturut orang lain kah? Seturut tangan Tuhan/alam/kehidupan yang tak terlihat kah?

Pertanyaan tinggallah pertanyaan. Namun saya tetap akan nanar melihat masa depan yang masih ada dan belum berbentuk. Bahkan ada yang belum terpikirkan. Bagi yang berusia lanjut, kehidupan setelah kematian lah yang merupakan masa depan yang belum berbentuk. Bagi yang masih berusia muda, puluhan tahun ke depan masihlah merupakan masa depan yang samar-samar, jika tidak mau dikatakan sebagai tak berbentuk.

Seringkali saya berdecak kagum melihan orang-orang yang sudah cukup lanjut usianya (atau yang berusia jauh di atas saya). Saya bahkan kagum melihat ibus aya sendiri. Mereka telah menjalani kehidupan yang paling tidak tiga kali lipat lebih lama dari saya. Entah berapa kali pada akhirnya jati diri mereka harus disesuaikan kembali (sangat mungkin sudah sering bongkar pasang). Hal itu membuat saya berpikir, apakah jati diri merupakan kumpulan pengalaman yang bergerak yang kemudian memperkuat persepsi tentang diri saya?

Sebuah getaran yang terasa menetap. Sebuah ayunan emosi yang tak bisa lagi berayun seperti dulu. Sebuah kebosanan yang telah dipancangkan untuk bisa memahami arti penderitaan hidup. Sealunan suara merdu yang selalu membawa ke masa lalu. Itukah jati diri? Ataukah sebongkah harapan akan impian yang tak muluk-muluk amat? Sebuah ambisi yang menyehatkan badan. Suatu nasihat yang menetap untuk menerjang tantangan hidup. Setapak langkah yang diiringi senyum pasti dan kesiapan hati untuk kembali teriris. Dan seonggok sinar semangat yang masih tersisa untuk bangkit kembali.

Rasa takut yang tergetarkan oleh rasa cinta akan kehidupan, membuat saya terus bergerak bagaikan lebah meneteskan madu hikmat. Sepengamatan saya, jati diri terus akan bergetar. Terus juga akan oleng, kemudian balik kembali. Seolah-olah terbuat dari kapal yang tak akan pernah tenggelam. Tapi itu hanyalah asumsi ... kapal yang tak pernah tenggelam adalah khayalan. Nyatanya saya pernah tenggelam, setidaknya sekali.

Ketika saya tenggelam, ketika saya menemui perasaan saya yang paling sentimentil. Ketika saya sudah merasa paling dasar, namun ternyata masih terus meluncur ke bawah. Ketika ledakan tangis dan tawa menjadi satu memudarkan dan membongkar topeng-topeng peran diri saya. Ketika itulah saya dapat merasakan kembali pelukan dari alam yang hangat. Dari bumi yang selalu setia mendengarkan keluh kesah saya. Saya kembali mencium tanah, karena dari situlah saya berasal. Merasakan degup jantung yang detakannya seirama dengan denyut tanah. Denyut bumi. Saya merasa terlindungi. Mendapatkan tempat untuk merelakan jari diri saya, apapun itu ... apapun.

Kenikmatan berpelukan dengan bumi menjadi suatu kejelasan kesadaran. Suatu penglihatan. Suatu momen. Saat terindah yang bukan picisan. Saat terdiam. Saat tersuci. Saat saya merasa hati saya dicuci. Menuju kehangatan kasih yang tak terkira. Rasa takut telah bersekutu dengan rasa cinta. Walaupun rapuh, saya mulai bergerak dan justru disitulah titik kritisnya. Simpul yang akan membawa kepada pilihan. Menuju simpul mati kah? Atau simpul yang terus bergerak tak menjuntrung?

Lagi-lagi saya dihadapkan pada pilihan. Hidup adalah pilihan. Benarkah? Salahkah? Hidup adalah spontanitas? Saat saya jatuh adalah saat saya memelas. Saat itu terasa tiada pilihan. Hanya ada gerakan. Tidak begitu spontan, masih memilih. Tapi jelas tidak hanya berhenti pada kesadaran pada pilihan. Bahkan kesadaran akan adanya pilihan tak perlu ada. Saya memilih, titik. Kemudian jalan. Itu saat saya jath. Lalu kehidupan bagi saya adalah berjalan berangsur-angsur normal kembali. Pelan-pelan saya mulai mencari posisi kenormalan diri saya. Terntu saya tidak mau terus berkubang dalam perasaan sentimentil. Oleh karena itulah saya mulai memasang titik referensi dimana saat saya masih merasa normal sebelum saya jatuh. Saya kemudian akan terus berusaha ke arah titik referensi tersbeut yang tentu bisa dijadikan titik perasaan normal, jika dibandingkan dengan perasaan saat saya jatuh, depresi, sedih, dsb.

Normal-jatuh-bangkit adalah sebuah siklus alami kehidupan manusia di bumi ini. Dan saya merasa pencarian jati diri saya terletak pada posisi siklus mencari titik normal. Saa menyadari bahwa apa yang saya cari sebagai jati diri sebenarnya adalah rasa kenormalan diri saya. ‘Normal’ yang mengindikasikan rasa terbiasa—nyaman—pada diri saya. Hal-hal apa yang membuat saya merasa nyaman, itulah kulit dari konsep-konsep saya mengenai jati diri. Saat itu saya hanya mendefiniskan jati diri terhadap hal-hal materi di luar diri saya, sehingga saya mendapatkan konsep jati diri saya yang terlihat kaku, yang membuat saya bertanya-tanya karena saya cepat merasa bosan dengan label-labelnya. Saya mendefinisikan jati diri seperti sebuah konsep mati. Saya selalu merasa berusaha agar jangan sampai diri saya mudah ditebak. Namun anehnya saya mudah ditebak—bahkan—oleh diri saya sendiri. Saya ingin terbiasa dengan diri saya yang kemudian saya sadari hanya taktik untuk bisa terbiasa dengan kehidupan.

Saya tidak suka bila diri saya dihakimi, dinilai, distereotipkan atau dikelompok-kelompokkan. Saya ya saya. Saya selalu merasa diri saya unik, tidak ada duanya. Tanpa saya sadari—sesuai dengan sifat kehidupan yang memang berubah-ubah—saya pun sebenarnya tidak ingin konsep diri saya menetap selamanya. Hanya saja, tetap saja ada yang terasa aneh. Saya tetap sering merasa belum menemukan jati diri saya. Saya selalu merasa seluruh potensi yang ada pada diri saya belum tergarap dengan optimal karena saya belum menemukan jati diri saya. Dengan kata lain, mungkin sebenarnya saya telah menunggu godot hanya untuk mengantarkan saya pada tanda tanya lain mengenai jati diri saya. Lalu saya berpikir, layakkah jika saya menghabiskan usia saya hanya untuk mencari jati diri?

Lagi-lagi pertanyaan. Lalu bisa dihentikankah pertanyaan-pertanyaan sejenis itu? Bahkan saya pin kemudian mengklaim, jati diri tidak usah capek-capek ditemukan. Toh sesungguhnya tak perlu dicari, cukup dengan menghayati kehidupan ini. Menghayati kehidupan. Hanya berjalan. Merengkuh seluruh ayunan perasaan. Meraih pendewasaan. Lalu datanglah lagi ketidakpastian.

Ketika rencana pudar menjadi langkah yang melebar kesana kemari, ketika hidup tak mengenal kata ketidakefisienan. Bahya terasa seperti dengungan lebah. Dan ketika pikiran tidak bisa diajak berlogika, emosi bahkan tidak bisa diajak bersentimentil ria. Saya pasrah, nyerah. Saya tidak bisa langi merengkuh kontrol diri. Pun segalanya yang sudah ada dalam diri saya yang juga tercakup segala yang diluar diri saya. Bahkan, jati diri pun tidak bisa saya ikat dengan label ‘jati diri’.

Saya menyimpulkan jati diri sebagai fungsi pemaknaan dari kehidupan saya. Fungsi pemaknaan yang bukan makna itu sendiri yang justru ternyata salah kaprah. Saya tidak melihatnya dari segala sisi. Saya hanya melihatnya dari sisi logika saya. Saya terjebak dalam cara berpikir komunis. Lalu saya pun ambruk dalam kebingungan saya terhadap konsep jati diri. Karena saya sesungguhnya rapuh—tanpa tahu jati diri yang sebenarnya.