cari

Jumat, 17 September 2010

in the middle of nowhere: FILSAFAT ANGKA

in the middle of nowhere: FILSAFAT ANGKA

FILSAFAT ANGKA

Manusia berawal dari suatu ketiadaan, lalu terlahir, tumbuh, tua dan kembali menjadi tiada, ia ibaratnya angka nol ...

Angka satu menunjukkan eksistensi Tuhan yang satu. Satu adalah asal segala angka. Dua adalah satu sebanyak dua. Tiga adalah satu sebanyak tiga, dst. Yang asli hanyalah satu. Sekarang mari kita jajar angka nol. Tiga nol, seratus nol, satu kilometer angka nol, nilainya tetap nol juga. Nol tak punya makna. Ia adalah kehampaan. Tapi mari kita coba jajar angka nol di belakang angka satu. Satu nol menjadi sepuluh. Enam angka nol menjadi sejuta, dst.

Hidup kita sesungguhny tak punya makna jika kita mengorientasikan segala perbuatan kita untuk selain-Nya. Untuk jabatan, kekuasaan, gelar, wanita, atau apapun selain-Nya. Karena itu semua adalah kenihilan dan maya.

Bukankah segala sesuatu selain-Nya adalah nol? Mulanya kita tiada dan kembali menjadi tiada. Hidup kita hanya akan bermakna ketika kita mengorientasikan segala perbuatan kita hanya untuk mengabdi kepada-Nya,

Senin, 13 September 2010

MENEMUKAN/MENGGUGAH JATI DIRI?

Lucu nampaknya jika saya membandingkan konsep saya tentang jati diri waktu dahulu (kalau boleh disebut sebagai zaman jahiliah) dengan konsep yang saya pahami sekarang ini. Dahulu saya mengira jati diri itu harus ditemukan lewat proses pencarian. Meskipun konsep saya tersebut tidak sepenuhnya salah; karena memang harus dicari, hanya berbeda dalam proses pencariannya. Berikut perbandingan konsepsi saya tentang jati diri waktu dulu dan sekarang, yang saya sajikan dalam paragraf perbandingan tidak langsung.

Dahulu saya benar-benar merasa belum menemukan jati diri saya yang sesungguhnya. Saya menjadi pribadi yang labil. Terkadang saya ngotot mengejar untuk menemukan jati diri saya. Tapi tak jarang pula saya merasa diri saya mapan (sebagai seorang manusia), namun anehnya saya merasa kosong dan hampa dalam diri saya. Pernah juga saya merasa tidak mengerti, cuek, bahkan pasrah akan apa kata orang tentang diri saya, tentang bagaimana saya harus bersikap, dsb. Saya terus merasa berubah-ubah. Saya bahkan kadang bertanya apakah nanti ada suatu ‘rasa diri’ yang benar-benar merupakan jati diri saya? Atau memang saya tidak terbuat dari ‘jati’? Hingga saya harus kembali meniti suatu pencarian, mencari suatu kemapanan yang saya sebut sebagai jati diri.

Saya selalu terperangah ketika sudah saatnya tangan kehidupan kembali menelusup zona kenyamanan saya. Mengganti lingkungan (pendidikan) saya, mendefinisikan kembali hubungan saya dengan orang-orang yang saya cintai, memutar arah menuju kawasan yang benar-benar tidak saya ketahui dan segala hal lain yang sanggup menohok saya kembali ke dasar pemikiran. Kembali ke dasar perasaan. Kembali bertanya-tanya. Tantangannya selalu sama; memperkuat benteng pertahanan tentang konsep diri yang telah saya bangun dengan susah payah atau merubuhkannya sekali lagi. Namun seringkali saya mudah tertipu oleh kehidupan. Saya sesunggunya telah berubah sekaligus terluka, bukan menjadi apa yang saya inginkan, melainkan apa yang efisien menurut kehidupan. Drama bikinan manusia di kehidupan ini boleh memiliki skenario yang itu-itu saja. Namun tanpa disadari saya telah mengikuti efieiensi kehidupan. Kehidupan yang apa adanya. Kehidupan alami.

Sewaktu-waktu dalam sesaat saya pernah bertanya-tanya, apa yang akan terhadi pada saya selanjutnya? Bisakah saya terus memeiliki pola kehidupan seperti ini? Bisakah saya bertahan? Bagaimana jika saya tidak mampu? Apakah saya telah menjadi pecundang dalam kehidupan ini? Pertanyaan sesaat itu selalu mengendap-endap. Menemani dengan setianya. Pertanyaan ini berdiam ketika diri saya sedang bahagia, dan bergejolak ketika diri saya sedang goyah-goyahnya. Pertanyaan sesungguhnya yang ingin saya ungkapkan adalah, apakah kehidupan saya ini masih akan selalu bisa terkontrol? Petualangan macam apa yang bakal menanti saya selanjutnya? Tantangan seperti apakah? Apakah saya masih perlu belajar untuk ‘secara menyakitkan’ mengubah jati diri saya? Seturut orang lain kah? Seturut tangan Tuhan/alam/kehidupan yang tak terlihat kah?

Pertanyaan tinggallah pertanyaan. Namun saya tetap akan nanar melihat masa depan yang masih ada dan belum berbentuk. Bahkan ada yang belum terpikirkan. Bagi yang berusia lanjut, kehidupan setelah kematian lah yang merupakan masa depan yang belum berbentuk. Bagi yang masih berusia muda, puluhan tahun ke depan masihlah merupakan masa depan yang samar-samar, jika tidak mau dikatakan sebagai tak berbentuk.

Seringkali saya berdecak kagum melihan orang-orang yang sudah cukup lanjut usianya (atau yang berusia jauh di atas saya). Saya bahkan kagum melihat ibus aya sendiri. Mereka telah menjalani kehidupan yang paling tidak tiga kali lipat lebih lama dari saya. Entah berapa kali pada akhirnya jati diri mereka harus disesuaikan kembali (sangat mungkin sudah sering bongkar pasang). Hal itu membuat saya berpikir, apakah jati diri merupakan kumpulan pengalaman yang bergerak yang kemudian memperkuat persepsi tentang diri saya?

Sebuah getaran yang terasa menetap. Sebuah ayunan emosi yang tak bisa lagi berayun seperti dulu. Sebuah kebosanan yang telah dipancangkan untuk bisa memahami arti penderitaan hidup. Sealunan suara merdu yang selalu membawa ke masa lalu. Itukah jati diri? Ataukah sebongkah harapan akan impian yang tak muluk-muluk amat? Sebuah ambisi yang menyehatkan badan. Suatu nasihat yang menetap untuk menerjang tantangan hidup. Setapak langkah yang diiringi senyum pasti dan kesiapan hati untuk kembali teriris. Dan seonggok sinar semangat yang masih tersisa untuk bangkit kembali.

Rasa takut yang tergetarkan oleh rasa cinta akan kehidupan, membuat saya terus bergerak bagaikan lebah meneteskan madu hikmat. Sepengamatan saya, jati diri terus akan bergetar. Terus juga akan oleng, kemudian balik kembali. Seolah-olah terbuat dari kapal yang tak akan pernah tenggelam. Tapi itu hanyalah asumsi ... kapal yang tak pernah tenggelam adalah khayalan. Nyatanya saya pernah tenggelam, setidaknya sekali.

Ketika saya tenggelam, ketika saya menemui perasaan saya yang paling sentimentil. Ketika saya sudah merasa paling dasar, namun ternyata masih terus meluncur ke bawah. Ketika ledakan tangis dan tawa menjadi satu memudarkan dan membongkar topeng-topeng peran diri saya. Ketika itulah saya dapat merasakan kembali pelukan dari alam yang hangat. Dari bumi yang selalu setia mendengarkan keluh kesah saya. Saya kembali mencium tanah, karena dari situlah saya berasal. Merasakan degup jantung yang detakannya seirama dengan denyut tanah. Denyut bumi. Saya merasa terlindungi. Mendapatkan tempat untuk merelakan jari diri saya, apapun itu ... apapun.

Kenikmatan berpelukan dengan bumi menjadi suatu kejelasan kesadaran. Suatu penglihatan. Suatu momen. Saat terindah yang bukan picisan. Saat terdiam. Saat tersuci. Saat saya merasa hati saya dicuci. Menuju kehangatan kasih yang tak terkira. Rasa takut telah bersekutu dengan rasa cinta. Walaupun rapuh, saya mulai bergerak dan justru disitulah titik kritisnya. Simpul yang akan membawa kepada pilihan. Menuju simpul mati kah? Atau simpul yang terus bergerak tak menjuntrung?

Lagi-lagi saya dihadapkan pada pilihan. Hidup adalah pilihan. Benarkah? Salahkah? Hidup adalah spontanitas? Saat saya jatuh adalah saat saya memelas. Saat itu terasa tiada pilihan. Hanya ada gerakan. Tidak begitu spontan, masih memilih. Tapi jelas tidak hanya berhenti pada kesadaran pada pilihan. Bahkan kesadaran akan adanya pilihan tak perlu ada. Saya memilih, titik. Kemudian jalan. Itu saat saya jath. Lalu kehidupan bagi saya adalah berjalan berangsur-angsur normal kembali. Pelan-pelan saya mulai mencari posisi kenormalan diri saya. Terntu saya tidak mau terus berkubang dalam perasaan sentimentil. Oleh karena itulah saya mulai memasang titik referensi dimana saat saya masih merasa normal sebelum saya jatuh. Saya kemudian akan terus berusaha ke arah titik referensi tersbeut yang tentu bisa dijadikan titik perasaan normal, jika dibandingkan dengan perasaan saat saya jatuh, depresi, sedih, dsb.

Normal-jatuh-bangkit adalah sebuah siklus alami kehidupan manusia di bumi ini. Dan saya merasa pencarian jati diri saya terletak pada posisi siklus mencari titik normal. Saa menyadari bahwa apa yang saya cari sebagai jati diri sebenarnya adalah rasa kenormalan diri saya. ‘Normal’ yang mengindikasikan rasa terbiasa—nyaman—pada diri saya. Hal-hal apa yang membuat saya merasa nyaman, itulah kulit dari konsep-konsep saya mengenai jati diri. Saat itu saya hanya mendefiniskan jati diri terhadap hal-hal materi di luar diri saya, sehingga saya mendapatkan konsep jati diri saya yang terlihat kaku, yang membuat saya bertanya-tanya karena saya cepat merasa bosan dengan label-labelnya. Saya mendefinisikan jati diri seperti sebuah konsep mati. Saya selalu merasa berusaha agar jangan sampai diri saya mudah ditebak. Namun anehnya saya mudah ditebak—bahkan—oleh diri saya sendiri. Saya ingin terbiasa dengan diri saya yang kemudian saya sadari hanya taktik untuk bisa terbiasa dengan kehidupan.

Saya tidak suka bila diri saya dihakimi, dinilai, distereotipkan atau dikelompok-kelompokkan. Saya ya saya. Saya selalu merasa diri saya unik, tidak ada duanya. Tanpa saya sadari—sesuai dengan sifat kehidupan yang memang berubah-ubah—saya pun sebenarnya tidak ingin konsep diri saya menetap selamanya. Hanya saja, tetap saja ada yang terasa aneh. Saya tetap sering merasa belum menemukan jati diri saya. Saya selalu merasa seluruh potensi yang ada pada diri saya belum tergarap dengan optimal karena saya belum menemukan jati diri saya. Dengan kata lain, mungkin sebenarnya saya telah menunggu godot hanya untuk mengantarkan saya pada tanda tanya lain mengenai jati diri saya. Lalu saya berpikir, layakkah jika saya menghabiskan usia saya hanya untuk mencari jati diri?

Lagi-lagi pertanyaan. Lalu bisa dihentikankah pertanyaan-pertanyaan sejenis itu? Bahkan saya pin kemudian mengklaim, jati diri tidak usah capek-capek ditemukan. Toh sesungguhnya tak perlu dicari, cukup dengan menghayati kehidupan ini. Menghayati kehidupan. Hanya berjalan. Merengkuh seluruh ayunan perasaan. Meraih pendewasaan. Lalu datanglah lagi ketidakpastian.

Ketika rencana pudar menjadi langkah yang melebar kesana kemari, ketika hidup tak mengenal kata ketidakefisienan. Bahya terasa seperti dengungan lebah. Dan ketika pikiran tidak bisa diajak berlogika, emosi bahkan tidak bisa diajak bersentimentil ria. Saya pasrah, nyerah. Saya tidak bisa langi merengkuh kontrol diri. Pun segalanya yang sudah ada dalam diri saya yang juga tercakup segala yang diluar diri saya. Bahkan, jati diri pun tidak bisa saya ikat dengan label ‘jati diri’.

Saya menyimpulkan jati diri sebagai fungsi pemaknaan dari kehidupan saya. Fungsi pemaknaan yang bukan makna itu sendiri yang justru ternyata salah kaprah. Saya tidak melihatnya dari segala sisi. Saya hanya melihatnya dari sisi logika saya. Saya terjebak dalam cara berpikir komunis. Lalu saya pun ambruk dalam kebingungan saya terhadap konsep jati diri. Karena saya sesungguhnya rapuh—tanpa tahu jati diri yang sebenarnya.

Rabu, 21 Juli 2010

Membaca

Waktu itu tahun 2005, saya sudah lulus SMA dan baru diterima di sebuah sekolah tinggi kedinasan di Jawa Barat. Proses daftar ulang dan sebagainya sudah selesai, urusan pemondokan sudah selesai, tinggal berangkat untuk melaksanakan perkuliahan. Sehari sebelum keberangkatan saya, saya mengatakan kepada ibu saya bahwa saya merasa ketakutan. Saya takut tinggal di kota, jauh dari keluarga, jauh dari rumah, dan yang pasti jauh dari ibu saya sendiri. Ibu saya yang melihat kekhawatiran saya, mengatakan bahwa pergi kemanapun di dunia ini, tidak perlu takut selama kita bisa membaca.

Sebagai seorang yang tidak berpendidikan tinggi, saya tahu bahwa 'membaca' yang dimaksudkan oleh ibu saya adalah bisa membaca kemana kita pergi, secara gramatikalnya mungkin membaca arah/petunjuk jalan. Dalam pembicaraan itu ibu saya mencontohkan bahwa kalau kita mau sholat, carilah petunjuk yang bertuliskan masjid/musholla. Terus terang saya sangat senang diberi nasehat seperti itu oleh ibu saya sendiri. Meski tidak terungkapkan secara langsung, saya tahu bahwa ibu saya ingin menguatkan saya--dan mencoba menghapus ketakutan saya--lewat nasihatnya. Dan saya pegang nasihat itu sampai detik ini.

Meski saat itu yang dimaksudkan oleh ibu saya adalah sekedar membaca arah tujuan, namun sekarang saya bisa mengambil sisi lain dari nasihat ibu saya itu. Mungkin juga saat itu ibu saya bermaksud bukan hanya seperti yang saya tangkap. Sekarang saya jadi tahu dan semakin paham bahwa kata membaca ternyata mempunyai banyak pengertian. Saya kemudian mengartikan 'membaca' sebagai membaca situasi, membaca keadaan. Yang lebih jauh saya definisikan sebagai 'menempatkan diri'. Ibu saya berharap agar saya bisa menempatkan diri, dalam situasi apapun--tentu saja dalam hal-hal yang positif. Seperti yang dikatakan sebuah peribahasa, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung . Saya sungguh sangat bahagia bahwasanya ibu saya bisa memberi nasihat yang tidak saya sangka bermakna sedalam itu. Dan sampai sekarang saya masih sangat ingat bagaimana ibu saya mengatakan nasihatnya itu.

Memang hal yang tidak mudah menempatkan diri--dalam situasi apapun. Terlebih apabila kita dihadapkan pada lingkungan yang beragam. Beragam budaya dan kebiasaan. Sebab ternyata lain orang lain pembawaan. Maka disitulah peranan 'membaca' sangat berperan. Yaah, meski saya juga masih belajar dan terus belajar. Sebab ternyata sangat tidak mudah mengerti orang lain.

Maka tak heran kalau yang diperintahkan Tuhan pertama kali kepada manusia adalah untuk membaca. Ternyata bukan hanya sekedar membaca dan menulis, lebih luas lagi peranan 'membaca' sangat berarti bagi kehidupan manusia ...
Semoga kita menjadi orang yang bisa menempatkan diri dalam situasi dan kondisi apapun ...

Selasa, 20 Juli 2010

Siapa yang salah?

Ketika Anda kesal, marah, jengkel, sebel dan kondisi lain yang sejenis, apa atau siapa yang Anda persalahkan? Orang yang membuat Anda kesal? Orang lain? Keadaan?
Saya pribadi tidak suka menyalahkan orang, tidak pula suka menyalahkan keadaan. Bagi saya orang dan keadaan itu kebetulan saja berada dalam waktu bersamaan yang kebetulan pula terjadi suatu kondisi yang membuat saya kesal. Namun teori saya ternyata ada jeleknya juga, karena kadang saya malah menyalahkan diri saya sendiri, sehingga berujung pada pertanyaan kenapa, kenapa dan kenapa ...

Ingin sekali ketika ada orang yang membuat kita kesal, mempermalukan dan membuat kita marah saya bisa membalasnya, di waktu, tempat dan kondisi yang sama. Atau ingin sekali suatu saat saya bisa menunjuk-nunjuk mukanya sambil memakinya, meluapkan segala rasa kesakithatian saya ... tapi tidak bisa. Ujung-ujungnya saya menyalahkan diri saya sendiri. Saya takut suatu ketika, saya akan berteori : orang lain selalu benar dan saya selalu salah--mudah-mudahan tidak. Saya takut menyalahkan keadaan saya, terlahir kedunia dan hidup didalamnya. Saya takut saya membenarkan ucapan filsuf Yunani yang mengatakan kalau kesalahan terbesar adalah lahir dan hidup di dunia ini ....

Semoga ...

--E7/16 : 20 Juli 2010--

Senin, 19 Juli 2010

Ulang Tahun

Hari ini salah satu sahabat saya berulang tahun, ke-23. Mungkin di hari ini pula jutaan manusia lainnya di seantero jagat juga berulang tahun. Tidak masalah ulang tahun yang ke berapa, pokoknya berulang tahun. Kadang saya penasaran, apa yang orang lain rasakan ketika sedang berulang tahun. Apa sama rasanya ketika saya berulang tahun? Apa mereka memikirkan hal yang sama dengan yang saya pikirkan ketika berulang tahun?

Kalau pengertian ulang tahun menurut Anda adalah meniup lilin dan memotong kue, berarti sejatinya saya tidak pernah berulang tahun. Terus terang saya tidak pernah merayakan ulang tahun yang seperti itu. Pernah sih, beberapa kali, itu pun karena teman-teman di kantor yang menyiapkannya untuk saya. Kalau pengertian ulang tahun menurut Anda adalah menerima kado dan hadiah dari orang lain, maka sejatinya saya pun jarang merayakan ulang tahun. Pernah sih beberapa kali menerima kado, bahkan sampai ulang tahun terakhir saya kemarin, cuma saya tidak menganggap itu sebagai esensi dari ulang tahun.
Tapi kalau pengertian ulang tahun menurut Anda adalah bertambahnya umur, berkurangnya usia dan bertambahnya kebijaksanaan, maka saya sangat setuju.

Hampir setiap mendekati tanggal ulang tahun saya, saya merasa deg-degan. Deg-degan, kira-kira ada kejadian apa di saat saya ulang tahun. deg-degan pula bahwa ternyata jatah saya di tahun itu telah berkurang. Deg-degan, apa orang-orang di sekeliling saya ingat dengan hari lahir saya, meski tanpa publish di situs jejaring sosial. Deg-degan apa ibu saya sendiri ingat dengan hari lahir saya--mengingat ibu saya selalu lupa dengan tanggal lahirnya sendiri. Deg-degan apa keluarga saya mengingat tanggal ulang tahun saya, dst dst. Mendekati hari ulang tahun bagi saya sama dengan was was.

Menurut satu kata bijak : tua itu pasti, tapi dewasa itu pilihan. Setiap orang pasti mengalami penambahan umur (baca: menua), pasti. Tetapi tidak semua orang memilih untuk belajar dewasa. Ya, ulang tahun bagi saya pada hakikatnya adalah penambahan umur dan pengurangan usia--saya tidak tahu apakah pemakaian kata umur dan usia ini sudah tepat atau terbalik. Saat berulang tahun itulah saat saya buat mereview proses hidup saya selama satu tahun terakhir. Target apa yang telah saya capai, hal-hal apa saja yang telah saya lakukan dan apa yang sudah saya peroleh dan kumpulkan selama itu. Ya, meski review saya selalu mengalami kerugian (baca: selalu mengecewakan) setidak-tidaknya saya sudah berusaha untuk mengevaluasi hidup saya sendiri. Tentu saja dengan harapan di tahun depan bisa tercapai dan bisa lebih baik.

Itu makna ulang tahun bagi saya, meski penuh dengan dag dig dug. Dan lewat tulisan ini, saya ingin mengatakan kepada sahabat saya yang berulang tahun itu, mudah-mudahan di usia yang ke 23 ini bisa membuatmu menjadi lebih baik, bukan pengulangannya, tapi pengurangannya. Karena sejatinya berulang tahun adalah berkurangnya jatah usia...
Semoga kehidupan kita semua bisa menjadi lebih baik, amin ..

Kabel E7/16

Kesendirian

Apa yang Anda pikirkan saat sendiri? atau apa yang Anda lakukan ketika sendiri? atau pertanyaan yang paling saya suka: apa yang anda sukai dari kesendirian (baca: sepi)??

Terus terang, saat-saat tertentu dalam hidup saya, saya suka menyendiri. Menjauh dari keramaian dan hiruk pikuk yang kadang membuat saya merasa pening. Saya suka sepi, meski tak jarang pula saya merasa kesepian. Tapi dalam kesendirian itulah saya menemukan waktu yang utuh, benar-benar utuh untuk diri saya sendiri. Saya bisa melakukan apa saja yang saya suka, saya bisa membaca, saya bisa menulis, menonton film, bahkan sekedar merapikan buku dan kamar yang berantakan. Intinya saya sangat menikmati saat sendiri, tidak ada orang lain di sekeliling saya. Maka sejujurnya saya kadang sangat tidak suka ada orang lain yang datang secara tiba-tiba dan menginterupsi kesendirian saya, hal itu akan dengan sangat mudah mengubah mood saya.

Tentu saja hal itu tidak saya lakukan sepanjang waktu dalam hidup saya selama ini. Saya bukan autis. Saya hanya menyukai saat-saat dimana saya butuh menyendiri. Dan tentu saja pula saya mempunyai teman dan sahabat untuk sekedar bercanda, have fun dan berbagi. Saya pikir sangat normal ...

Satu hal lagi, saya juga suka saat-saat dimana saya berada diantara orang-orang yang tidak saya kenal, tetapi saya tidak mempunyai kepentingan yang sama dengan mereka. Misalnya saat saya berada di kereta--KRL--, begitu banyak orang yang mungkin semuanya tidak saya kenal, dan masing-masing mempunyai tujuan sendiri. Tapi saya tidak suka ketika saya berada di sebuah acara, sendiri, saya tidak mengenal orang-orang yang lain, misalnya saya hanya mengenal yang punya acara saja: membuat saya mati gaya.

Well, menurut saya pribadi setiap kita butuh saat-saat sendiri .... untuk sekedar berkontemplasi atau melakukan hal-hal yang menyenangkan ....

So, nikmati 'kesendirian' mu ...

Minggu, 18 Juli 2010

Waktu

Apa yang Ada di benak Anda tentang waktu?
Suatu ketika saya pernah berpikir, sebenarnya waktu yang berjalan meninggalkan kita atau kita yang berjalan menjauhi waktu? Mari kita melihatnya dari konsep dimensi. Seringkali kita mendengar kata dimensi waktu. Waktu adalah sebuah dimensi. Pertanyaannya, kita yang berada di dimensi waktu atau waktu yang berada di dimensi kita?Saya tidak sedang berbicara secara ilmiah, saya hanya ingin menyampaikan pendapat saya secara pribadi. Waktu dan kita (baca: kehidupan manusia) adalah dua hal yang terpisah. Waktu sendiri, dan kita berdiri sendiri. Tetapi waktu ada karena kita ada, bukan sebaliknya: kita ada karena ada waktu. Sepanjang kita ada--di dunia--waktu akan tetap ada. Bahkan ketika kita tiada--di dunia--waktu akan tetap ada. Kita membutuhkan waktu, dan sepanjang pengalaman saya, waktu tidak peduli pada kita. Kita membutuhkan waktu dalam hal mengetahui ukuran: usia/umur. Hanya sejauh itu. Sebab waktu tidak bisa digunakan untuk mengukur tingkat kualitas, ia hanya digunakan untuk mengukur kuantitas. Kita hanya menggunakan waktu untuk mengukur berapa lama, bukan seberapa jauh. Tidak ada teori semakin tua seseorang, pasti semakin bijak. Mungkin saya setuju seandainya peribahasa ilmu padi didepannya diberi kata sebaiknya: sebaiknya seperti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk. Sebab jika kata merunduk kita artikan sebagai bijaksana, tidak sombong--maka tidak tepat. Buktinya banyak manusia yang semakin tua malah semakin menjadi-jadi.

Kita hanya membutuhkan waktu untuk sebatas itu. Pada kenyataannya waktu tidak perduli pada kita. Ia terus berjalan, berjalan dan berjalan, tanpa peduli kita terseok-seok terjatuh-jatuh mengiringinya.Ia sama sekali tidak peduli. Ia hanya berjalan dan mencatat siapa-siapa yang tumbang dan menyerah dalam perjalanannya.
Maka, kita hanya butuh waktu sebagai ukuran kuantitas, bukan kualitas. Janganlah menjadikan waktu sebagai tolok ukur keberhasilan akan sesuatu, karena setiap orang punya waktunya sendiri-sendiri. Menilai ketertinggalan kita terhadap waktu pada dasarnya disebabkan karena kita membandingkannya dengan manusia lain, bukan terhadap waktu itu sendiri...

So, kita adalah kita dan waktu adalah waktu ...

==Kabel E7/16==

Jumat, 16 Juli 2010

ketakutan--kehilangan

Apa yang dirasakan orang ketika menyayangi sesuatu? Rasa takut kehilangan. Apa yang dilakukan orang ketika mencintai sesuatu? Rasa takut... takut tidak bisa mencintainya lagi, takut tidak bisa bersamanya lagi dan takut pada hal-hal yang akan memisahkannya dengan hal yang dicintainya itu.
Mungkin bagi sebagian orang yang pernah mengalami rasa sakit karena kehilangan pernah berpikir bahwa seandainya dulu aku tidak pernah mengenalnya, tidak pernah mengetahui keberadaannya hingga aku harus mencintai dan menyayanginya.
Ketakutan terhadap sesuatu menimbulkan kecemburuan. Kecemburuan memantik kecurigaan, dan seterusnya-dan seterusnya.

Intinya adalah rasa takut.
Seperti apa yang saya alami sekarang. saya begitu takut kehilangan. Bukan kehilangan orang yang saya cintai, karena pada dasarnya saya mencintai semua orang, bahkan musuh-musuh saya. Saya mencintai secara universal. Saya hanya takut kehilangan orang-orang yang mencintai saya. Meski saya mencintai semua orang secara universal, saya yakin tidak mudah mendapatkan cinta dari orang lain. Ketidakmudahan itulah yang menyebabkan saya merasa takut. Saya takut suatu ketika ibu saya tidak mencintai saya lagi, hingga saya harus merasa menjadi anak yatim meskipun ibu saya masih ada. Saya takut saya kehilangan cinta dari istri dan anak-anak saya suatu saat kelak, hingga saya merasa segala pengorbanan dan kerja keras saya sia-sia. Saya takut kehilangan cinta dari harta benda saya hingga mereka semua menjauh dan saya menjadi sangat miskin. Saya takut kehilangan cinta dari teman-teman seperjuangan, baik di tempat kerja, di kampus, di kajian-kajian yang saya ikuti, hingga saya merasa sendiri dan harus berjuang dalam sepi. Saya takut kehilangan cinta dari saudara-saudara saya di dien (baca:agama) yang saya anut, hingga saya harus kehilangan arah dan tujuan, karena sejatinya karena merekalah saya tahu apa hakikat hidup. Dan sejujurnya, saya sangat takut kehilangan cinta dari Tuhan saya, hingga saya harus merasa menjadi mahluk kerdil yang percaya pada-Nya tapi tidak diakui oleh-Nya.
Dan seringkali saya merasa takut pada ketakutan itu sendiri. Ketakutan yang kadang membuat saya menjadi seperti orang tidak waras. Ketakutan yang kadang membuat saya bertingkah berlebihan, Ketakutan yang selalu membuat saya cemburu, curiga ....

Dan sekarang, saya pun takut ketika harus mengungkapkan ini semua kepada dunia ....

---Kabel E7/16---

Senin, 12 Juli 2010

Kesalahan Terbesar dan Terindah

Mungkin seandainya aku tidak berkirim surat kepadanya, saya tidak akan mendapat pengalaman seberharga ini ...

Adalah seorang sahabat, saya bertemu dia kurang lebih lima tahun yang lalu di sebuah kota di jawa tengah. pada waktu itu kami sama-sama akan mendaftar kuliah di sebuah sekolah tinggi kedinasan di negeri ini. kami berkenalan karena merasa senasib dan sama-sama bermalam di masjid. yaah, sekedar perkenalan biasa, karena waktu itu saya masih takut berkenalan dengan orang asing. Sayangnya kami berdua sama-sama tidak lulus di ujian itu. Maka bermalam di masjid waktu itu hanya menjadi kenangan belaka, tanpa hasil. Pertemanan kami dijalin hanya lewat sms, dan korespondensi. Kebetulan saya hobi korespondensi, meskipun sudah ada email, berkorespondensi tetap hal yang menyenangkan buat saya pribadi. Waktu itu saya diterima di sebuah sekolah tinggi kedinasan lainnya, dan seingat saya dia tidak diterima lagi--waktu itu kami mendaftar di tempat yang berbeda. Waktu terus berjalan, dan kami pun kehilangan jejak masing-masing. Nomor HP ilang, alamat pun entah kemana.

Tanpa terasa lima tahun sejak perkenalan itu telah berlalu. Padahal selama masa itu saya sudah dua kali pindah tempat kerja, beberapa kali pindah bagian dan banyak hal lain yang terjadi...kecuali nikah ... ;p
Beberapa waktu yang lalu saya iseng membuka catatan lama dan di salah satu halamannya saya menemukan alamat rumahnya. Naluri Korespondensi saya--yang saya terjemahkan sebagai keinginan untuk melanjutkan silaturahmi--kembali muncul. Dan saya pun menulis surat untuknya.

Beberapa hari setelah mengirim surat itu--lewat kantor pos--saya mendapat telepon dari nomor tidak dikenal, dan ternyata itu nomornya. Saya sempat shock, tadinya saya tidak menyangka akan secepat itu mendapat respon atas surat saya. Maka pertemanan kami kali ini tidak dengan korespondensi, tetapi dengan telepon dan sms.

Dari ceritanya sekarang dia berada di salah satu pulau di luar jawa, bekerja. dan beberapa bulan setelah surat itu dia mengabarkan bahwa dia akan pulang ke kampungnya di Jawa. Kami pun sepakat untuk bertemu. Saya sempat ragu, bertemu seorang sahabat--yang sebenarnya sudah seperti saudara sendiri--tetapi di sisi lain saya sebenarnya juga tidak mengenalnya. Tidak mengenalnya secara fisik, sempat terfikir saya akan ditipu--maklum, hidup di jakarta kadang harus mempersiapkan kemungkinan terburuk.
Dalam keragu-raguan itu saya menguatkan diri saya, bahwa niat saya adalah menjalin silaturahmi dengannya. Dan kami pun bertemu. Seingat saya dia tidak berubah dari seperti ketika kami bertemu pertama dahulu, hanya saja sekarang lebih gemuk dan agak putihan sedikit.

Bukan itu yang sebenarnya ingin saya ceritakan. Saya ingin menceritakan mengenai sosoknya. Dia adalah Soe Hok Gie masa kini bagi saya. Dia tipe pemberontak yang tidak mau bergantung dari belas kasihan orang lain. Tiga kali gagal mendaftar di sekolah kedinasan dan dua kali gagal mendaftar sebagai CPNS mungkin membuatnya sakit hati. Maka saya tidak heran ketika dia menunjukkan ketidaksukaan terhadap PNS--macam saya. Tetapi dari kesakithatiannya itulah dia berjuang untuk hidupnya. Pekerja keras yang juga keras kepala, itulah dia. Seorang ambisius yang bertanggung jawab. Ramah, dan sayang pada keluarganya. Dia adalah sosok pekerja keras yang banyak belajar dari masa lalu.

Dan ternyata sifat-sifatnya itu dia dapatkan dari keluarganya. Ayahnya mendidiknya untuk tidak bergantung dari belaskasihan orang lain. Dia bercerita kalau dia tidak mau kesuksesan yang diraihnya didapat karena jasa orang lain. Karenanya dia benar-benar berjuang sendiri untuk memenuhi kehidupannya. Kehidupannya yang dari dulu memang sudah keras. Sejak SD dia terbiasa berjualan. Ketika lebaran berjualan toples, ketika tahun ajaran baru berjualan buku, bahkan ketika pulang sekolah dia rela menjadi kernet angkot untuk sekedar membeli buku sekolahnya. Dia yang terbiasa membawa nasi ke sekolah untuk menghemat makan siang. Dia yang terbiasa dengan makanan yang biasa-biasa saja. Dia yang sederhana, pekerja keras, dan keras kepala.
Kesibukannya bekerja tentu saja tidak menghalangi dia untuk berprestasi. Dari SD hingga SMA dia sudah terbiasa dengan gelar juara. Bahkan--menurut cerita ibunya--ketika SD dia sudah menjadi juara mapel matematika tingkat kabupaten.
Sampai disini saya semakin salut ...

Dan hal lain yang saya belajar darinya adalah tentang keramahan. Dia yang--sepertinya--mengenal hampir semua orang di desanya, dia yang bisa beramah-tamah dengan semua orang yang dia temui--padahal saya sangat tidak bisa melakukannya....dsb dsb

Maka, hanya rasa kagum yang bisa saya berikan kepadanya. Dan sampai disini ternyata saya menemukan jawabannya. Jawaban kenapa saya harus bertemu orang asing yang ternyata adalah guru kehidupan bagi saya, guru tentang kesederhanaan, guru tentang kerja keras, kekeluargaan dan kasih sayang. Terimakasih sahabat,, surat itu memang kesalahan terbesar saya...kenapa saya baru menuliskannya sekarang-sekarang ini, tidak dari dulu. Dan kamu tahu, bahwa itu adalah kesalahan terindah ... karena saya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga untuk saya coba terapkan di kehidupan saya ...
terimakasih

Jumat, 09 Juli 2010

entah,,

entah,
entah ini aku atau engkau..
entah ini rasa atau hanya sebuah asa..

ya,
entah,
hanya sebatas entah,,

tanya,
ku tanya bimbang,
namun ternyata sepi menjawab,
hanya dengan sebuah entah,
hanya dengan sebait resah..

ragu,waktu,aku
dan dirimu pun berlaku
meninggalkan sebuat entah..
berselimutkan resah..






akankah hanya berakhir dengan seberkas entah?
entah,,

Rabu, 16 Juni 2010

MUTIARA DI BALIK PESISIR - 1





MENYEBERANG MENUJU MUTIARA

Pagi yang cerah di hari Rabu, 2 Juni 2010. Kami berenam berangkat dari Kota Kretek—Kudus—ke Jepara. Pagi itu kami berniat untuk menyeberang ke Kepulauan Karimunjawa, yang katanya dijuluki sebagai ‘Mutiara dibalik Pesisir’. Rombongan—yang terdiri dari Adin, Arif, Arus, Eka, Jalu dan saya sendiri—berangkat dari Kudus jam 06.30 waktu setempat. Hampir tidak ada kemacetan atau halangan lain seperti lampu merah yang lama seperti yang biasa kita jumpai di Jakarta. Maka pukul 08.00 kami sudah tiba di Pelabuhan Jepara setelah sebelumnya mampir dulu ke ATM untuk mengambil uang tunai—karena menurut info di Karimunjawa tidak ada mesin ATM, sehingga harus membawa uang tunai yang banyak. KMP Muria terlihat sudah bersiap diri di pelabuhan. Kami yang baru pertama kali menyeberang menggunakan kapal fery, sedikit gugup juga membayangkan bagaimana kapal segede itu terombang-ambing di lautan selama 6 jam. Maka tak ayal beberapa dari kami sudah mulai mual dan muntah-muntah, padahal perjalanan belum juga dimulai; maklum ndeso. Tiket VIP seharga Rp 58.250,- pun sudah kami pegang, ditambah retribusi masuk pelabuhan sebesar Rp 2.000,-. Sebagai informasi, tiket non VIP yang disediakan (Cuma ada dua kelas, VIP dan non VIP) seharga Rp 30.000,-

Tepat pukul 09.01 KMP Muria bertolak dari Pelabuhan Jepara, mengarungi laut luas menuju Kepulauan Karimunjawa. Menit-menit awal pemberangkatan kapal kami lalui dengan sedikit mual karena tidak terbiasa dengan gelombang laut. Baru setelah tiga puluh menit kemudian kami bisa menyesuaikan diri. Perjalanan 6 jam rasanya tidak seru kalau hanya dilalui dengan duduk-duduk di ruangan ber-AC, nonton TV dan makan camilan, maka naik ke geladak dan menikmati perjalanan dari atas kapal merupakan pilihan yang layak dicoba. Dimana kita bisa melihat kapal melaju membelah lautan lepas, meninggalkan deretan buih di atas air laut. Beberapa turis asing—bule—juga kami lihat melakukan hal yang sama. Waktu itu kebetulan cuaca sedang agak panas, maka memakai sunblock sangat dianjurkan. Selain menikmati perjalanan, berfoto-foto ria tentu saja menjadi pilihan yang menarik, terutama bagi kami yang suka narsis di depan kamera. Tapi ingat, jangan bergaya bugil di depan kamera Anda, karena disamping malu karena banyak orang, juga dikhawatirkan video tersebut bakal beredar di internet seperti kasus para artis yang marak belakangan ini.

Sebenarnya dalam hati saya sedikit merasa ciut juga, membayangkan bagaimana selama enam jam kedepan kami akan berada di atas kapal ini. Sederet pertanyaan parno saya pun bermunculan: bagaimana jika ... bagaimana jika ... bagaimana jika .... dst, apalagi baru kali ini saya menggunakan jasa penyeberangan KMP Muria yang mempunyai motto we bridge the nations—bangga menyatukan nusantara. Tapi ternyata, memandang lautan luas bisa memberikan ketenangan tersendiri bagi saya. Ombaknya, riaknya, garis cakrawala dan Pulau Jawa yang terlihat semakin mengecil; membuat saya ingin mengutip sebaris lirik lagunya MLTR :

Sitting here all alone, in the middle of nowhere .....
Meski saat itu saya tidak sendiri—tentu saja tidak, kami berbanyakan, meski tak sebanyak penumpang kapal Titanic—tapi tetap saja berada di tengah lautan lepas membuat saya merasa ‘kecil’.

Pukul 13.30 kapal kami menepi di pelabuhan Karimunjawa. Para penumpang pun berebut untuk turun. Mengingat kapal ini adalah satu-satunya penghubung kepulauan Karimunjawa dengan dunia luar, maka sepertinya kedatangan kapal ini sangat ditunggu-tunggu oleh penduduk Karimunjawa. Selain membawa barang-barang kebutuhan sehari-hari yang tidak bisa diproduksi sendiri, kapal ini juga membawa turis yang membawa ‘uang segar’ bagi para penduduk Karimunjawa. Tak ayal begitu turun dari kapal, banyak warga sekitar—yang ternyata kemudian saya ketahui sebagai semacam ‘pemandu wisata’ menawarkan jasa penginapan. Penginapan yang tersedia beragam jenisnya. Ada hotel mewah dengan view pantai dengan harga yang tentu saja ‘mewah’; ada hotel sederhana—fasilitas andalannya adalah AC dan listrik penuh seharian—dan adapula homestay—yaitu rumah-rumah penduduk yang disewakan bagi para turis. Menimbang budget yang tersedia, kami pun memilih homestay untuk tempat bermalam kami selama empat hari kedepan. Berupa kamar sederhana tapi rapi, dengan kipas angin dan cermin kecil di dalamnya, kamar mandi terpisah dan listrik yang sama seperti penduduk pada umumnya: hanya menyala pada malam hari. Maka bagi Anda yang ingin berlibur ke Karimunjawa, disarankan tidak perlu membawa gadget yang berlebihan seperti laptop karena di samping daya listrik yang terbatas, juga perlu diingat bahwa berwisata di Karimunjawa artinya berwisata di lautan (baca: air), jadi saya rasa berada di kapal di tengah laut dengan membawa laptop untuk sekedar online atau mengerjakan sesuatu saya pikir bukan ide bagus. 

Homestay yang kami pilih bernama Homestay Prapatan, kepunyaan Bapak Jailani (bagi yang berminat bisa menghubungi Yovie di nomor +6281357234344). Terletak di tengah-tengah (Kota) Karimunjawa, tidak terlalu jauh ke pelabuhan, juga tidak terlalu jauh ke pusat kota. Sebenarnya homestay Prapatan ini kami pilih atas rekomendasi dari seorang warga Karimunjawa yang kebetulan satu kapal dengan kami. Kami yang berenam menyewa 2 kamar (sekamar bertiga), dengan harga sewa Rp 60.000,- permalam. Karena kecapaian, kami memilih untuk beristirahat sebentar sebelum mulai menjelajah di Karimunjawa.

KOTA KECAMATAN

Karimunjawa sebenarnya adalah nama sebuah kecamatan. Kecamatan Karimunjawa adalah sebuah tempat yang yang luasnya tidak seberapa, bisa dikelilingi dengan jalan kaki hanya dalam waktu 20 menit. Sebuah kecamatan di tempat terpencil, desa bukan, kota juga bukan. Sore harinya setelah mandi dan berganti baju, kami menyempatkan diri untuk mencari makan di pusat kota. Pusat kota Karimunjawa adalah sebuah komplek pemerintahan Karimunjawa (terdiri dari kantor camat, kantor petinggi, SD, kantor militer, dan kantor telkom) yang di depannya adalah sebuah lapangan sepakbola, pelabuhan dan tempat pelelangan ikan. Nah, di depan lapangan tersebutlah tempat para penjual makanan menjajakan dagangannya. Biasanya ramai pada sore hingga malam hari. Dan setiap malam minggu, di depan kantor kecamatan diadakan pemutaran film. Orang-orang sekitar menyebutnya layar tancap—yang sebenarnya adalah sebuah film yang diputar dengan komputer dan disajikan dengan infokus pada sebuah layar besar.

Sabtu, 12 Juni 2010

Somebody wants you,
Somebody needs you,
Somebody dreams about you every single night,
Somebody can't breath without you,
It's lonely...
Somebody hopes someday you will see:
that somebody's me ...

Kamis, 27 Mei 2010

bimbang

adalah sebuah perjalanan panjang,
suatu ketika kita membutuhkan teman,
dimana dengannya kita bisa berbagi: mendengar dan didengarkan...

namun seandainya, kita cuma mendengarkan, tanpa pernah didengar?

Rabu, 10 Maret 2010

setiap masa punya orangnya dan setiap orang punya masanya ...

Begitu kira-kira saya membaca sebuah penutup artikel tentang pengalaman hidup seorang komedian indonesia di sebuah majalah terkenal. Sedikit menggelitik saya karena ketika saya sedang iseng melihat-lihat wall facebook teman saya, saya menemukan kata-kata yang sama. Kegelian (karena tergelitik) itulah yang menyebabkan saya ingin menuangkannya disini ...

Yang pertama, setiap masa punya orangnya. Mungkin maksudnya setiap jaman--saya pikir jaman disini bukan jaman yang diklasifikasikan berdasarkan jaman prasejarah, tapi lebih kepada era/periode perkembangan sesuatu dalam kurun waktu tertentu--ada orangnya. Artinya setiap jaman ada orang-orang yang berkecimpung di jaman itu (ya iyalah ... kecuali jaman dinosaurus, nanti bunyinya jadi 'setiap masa ada dinosaurusnya' :D)...
Mungkin karena yang berbicara adalah seorang komedian, dia berbicara setiap masa--perkembangan--dunia komedi pasti ada orang-orang yang mengisi jaman itu, seperti Atmonadi Cs, Kwartet Jaya, Srimulat, Surya Grup, dan lain-lain hingga jaman sekarang seperti Opera Van Java, Bajaj, dsb.

yang kedua, setiap orang punya masanya. Maksudnya tentu saja setiap orang punya peranan tertentu di jamannya. Maksud lainnya, setiap orang menempati jaman tertentu dari susunan jaman-jaman yang diakui masyarakat sebagai ketentuan tidak tertulis. Contohnya, kita mengenal jaman Elvis Presley, jamannya Arafiq, jamannya Bing Slamet hingga jamannya Ungu seperti sekarang. Sebuah contoh konkrit jika sekarang kita melihat orang berpakaian jadul model Elvis Presley, kita menyebutnya orang jadul (jaman dulu) karena masa Elvis Presley memang sudah lama berlalu. Sebaliknya kalau kita melihat anak muda dengan kaos warna-warni dengan celana model pensil yang susah sekali dipakainya terus celana tersebut dipakai dengan sedikit memerosotkannya hingga celana dalamnya sedikit terlihat; kita akan menyebutnya 'oooo... anak gaul jaman sekarang'.

Lalu, ada korelasi apa antara dua pernyataan di atas?? mungkin kalau saya boleh menarik kesimpulan, dua pernyataan di atas bisa dijelaskan seperti berikut ini : setiap masa akan ada orang-orang yang akan menjadi ciri khas masa tersebut....
hehehe ....

Pertanyaannya adalah ..... adakah masa/jaman yang akan terus hidup tanpa harus hilang--ditelan peradaban--yang akan terus berlangsung, terus mempunyai orang-orang yang menjadi ciri dari jaman tersebut hingga akhir hayat ????


*kabel E7/16*

Selasa, 09 Maret 2010

sudah berakhir, atau ini baru awal dari segalanya?

UTS sudah selesai, tepatnya selesai hari ini, 9 Maret 2010 jam 15.45 Waktu Bintaro. Meski dengan sedikit sesak karena Soal UTS Terakhir--Bahasa Inggris--yang menurut saya agak mengecewakan; tapi sebenarnya saya juga menarik nafas lega, karena UTS Semester Ganjil--menurut versi Pak Untung Sukardji : Gasal--telah selesai, dan berhasil saya lewati. Tinggal berdoa, semoga hasilnya tidak mengecewakan dan bisa terus membawa saya hingga akhir perjuangan di kampus ini.

Namun ternyata setelah menyelesaikan pertempuran terakhir dan berbarengan dengan saya menghempaskan tubuh saya ke atas tempat tidur--sejenak mengistirahatkan diri--justru muncul pertanyaan baru : ini sudah berakhir atau justru ini awal dari segalanya ??
Karena ternyata begitu saya melihat ke tumpukan buku, ada buku ekonomi di tumpukan paling atas, dan kemudian saya teringat bahwa ada Tugas dari Dosen Ekonomi yang harus dikumpulkan hari Senin depan. Arrgghhhhh ..... baru juga menarik nafas lega, masih harus disesakkan oleh ekonomi .....

Akibat tengokan ketidaksengajaan saya itu,, justru saya menemukan jawaban dari pertanyaan saya tadi. Bahwa ini sebenarnya bukanlah akhir, tapi awal dari segalanya. UTS pertama memang telah berakhir, tapi masih ada 7 UTS lain menanti, yang menurut bayangan saya perlu perjuangan yang lebih ekstra.

So,,, inilah awal dari perjuangan panjang itu, Jika bisa selamat sampai 7 UTS kedepan, maka saya akan kembali ke Kantor dengan bangga, membawa ilmu dan pengalaman baru--tentu saja pangkat dan jabatan yang baru--atau jika tidak, kita tetap akan kembali ke kantor dengan menundukkan muka. Maka, kita memilih yang mana ???
Tentu saja jawabannya bukan : Hanya Tuhan dan Pembuat Undang-Undang yang Tahu (Untung Sukardji, 2005).......

Cukup tanyakan pada hati kita sendiri ... semoga ....
*Kabel E7/16*

Senin, 08 Maret 2010

tidak ada yang baru

hmm ... setelah gonta-ganti coba-cobi sana-sini penyedia layanan blog, akhirnya saya memutuskan bahwa ini adalah blog terakhir--semoga. Pusing juga ternyata, masing-masing menyediakan fasilitas yang memang bersaing, cuma mungkin karena yang make saya, jadi ya sama aja, soalnya nggak ngerti fungsinya buat apa, hehe ...

So, ini postingan pertama .... secara tema dan isi sepertinya masih akan tetap sama, saya apa adanya. Mungkin ada satu hal yang akan berubah, mengingat kesibukan saya sekarang adalah kuliah, maka hal yang akan saya ceritakan tidak akan jauh seputar masalah kelas, kampus, kuliah dan ujian. Tapi jalan-jalan dan pengalaman akan tetap menjadi tema nomor satu. Seperti sekarang ini, tak sabar saya menunggu hari Jumat, Sabtu dan Minggu yang akan datang. Kenapa?? ketika itu saya akan berada di Jogja .... Kota Sang Sri Sultan dengan segala warisan budaya dan kekayaan kebudayaannya yang masih tetap hidup sampai sekarang. Yup .... setelah kurang lebih sembilan bulan yang lalu saya berada disana, kini rasa kangen saya pada kota yang menjadi tema banyak lagu dan cerita itu memaksa saya untuk mengobati rasa kangen itu .... semoga akan menjadi perjalanan menyenangkan, banyak pelajaran dan tentu saja banyak momen yang bisa diabadikan bersama teman-teman (baca : banyak poto narsis) hehehe ...