cari

Senin, 12 Juli 2010

Kesalahan Terbesar dan Terindah

Mungkin seandainya aku tidak berkirim surat kepadanya, saya tidak akan mendapat pengalaman seberharga ini ...

Adalah seorang sahabat, saya bertemu dia kurang lebih lima tahun yang lalu di sebuah kota di jawa tengah. pada waktu itu kami sama-sama akan mendaftar kuliah di sebuah sekolah tinggi kedinasan di negeri ini. kami berkenalan karena merasa senasib dan sama-sama bermalam di masjid. yaah, sekedar perkenalan biasa, karena waktu itu saya masih takut berkenalan dengan orang asing. Sayangnya kami berdua sama-sama tidak lulus di ujian itu. Maka bermalam di masjid waktu itu hanya menjadi kenangan belaka, tanpa hasil. Pertemanan kami dijalin hanya lewat sms, dan korespondensi. Kebetulan saya hobi korespondensi, meskipun sudah ada email, berkorespondensi tetap hal yang menyenangkan buat saya pribadi. Waktu itu saya diterima di sebuah sekolah tinggi kedinasan lainnya, dan seingat saya dia tidak diterima lagi--waktu itu kami mendaftar di tempat yang berbeda. Waktu terus berjalan, dan kami pun kehilangan jejak masing-masing. Nomor HP ilang, alamat pun entah kemana.

Tanpa terasa lima tahun sejak perkenalan itu telah berlalu. Padahal selama masa itu saya sudah dua kali pindah tempat kerja, beberapa kali pindah bagian dan banyak hal lain yang terjadi...kecuali nikah ... ;p
Beberapa waktu yang lalu saya iseng membuka catatan lama dan di salah satu halamannya saya menemukan alamat rumahnya. Naluri Korespondensi saya--yang saya terjemahkan sebagai keinginan untuk melanjutkan silaturahmi--kembali muncul. Dan saya pun menulis surat untuknya.

Beberapa hari setelah mengirim surat itu--lewat kantor pos--saya mendapat telepon dari nomor tidak dikenal, dan ternyata itu nomornya. Saya sempat shock, tadinya saya tidak menyangka akan secepat itu mendapat respon atas surat saya. Maka pertemanan kami kali ini tidak dengan korespondensi, tetapi dengan telepon dan sms.

Dari ceritanya sekarang dia berada di salah satu pulau di luar jawa, bekerja. dan beberapa bulan setelah surat itu dia mengabarkan bahwa dia akan pulang ke kampungnya di Jawa. Kami pun sepakat untuk bertemu. Saya sempat ragu, bertemu seorang sahabat--yang sebenarnya sudah seperti saudara sendiri--tetapi di sisi lain saya sebenarnya juga tidak mengenalnya. Tidak mengenalnya secara fisik, sempat terfikir saya akan ditipu--maklum, hidup di jakarta kadang harus mempersiapkan kemungkinan terburuk.
Dalam keragu-raguan itu saya menguatkan diri saya, bahwa niat saya adalah menjalin silaturahmi dengannya. Dan kami pun bertemu. Seingat saya dia tidak berubah dari seperti ketika kami bertemu pertama dahulu, hanya saja sekarang lebih gemuk dan agak putihan sedikit.

Bukan itu yang sebenarnya ingin saya ceritakan. Saya ingin menceritakan mengenai sosoknya. Dia adalah Soe Hok Gie masa kini bagi saya. Dia tipe pemberontak yang tidak mau bergantung dari belas kasihan orang lain. Tiga kali gagal mendaftar di sekolah kedinasan dan dua kali gagal mendaftar sebagai CPNS mungkin membuatnya sakit hati. Maka saya tidak heran ketika dia menunjukkan ketidaksukaan terhadap PNS--macam saya. Tetapi dari kesakithatiannya itulah dia berjuang untuk hidupnya. Pekerja keras yang juga keras kepala, itulah dia. Seorang ambisius yang bertanggung jawab. Ramah, dan sayang pada keluarganya. Dia adalah sosok pekerja keras yang banyak belajar dari masa lalu.

Dan ternyata sifat-sifatnya itu dia dapatkan dari keluarganya. Ayahnya mendidiknya untuk tidak bergantung dari belaskasihan orang lain. Dia bercerita kalau dia tidak mau kesuksesan yang diraihnya didapat karena jasa orang lain. Karenanya dia benar-benar berjuang sendiri untuk memenuhi kehidupannya. Kehidupannya yang dari dulu memang sudah keras. Sejak SD dia terbiasa berjualan. Ketika lebaran berjualan toples, ketika tahun ajaran baru berjualan buku, bahkan ketika pulang sekolah dia rela menjadi kernet angkot untuk sekedar membeli buku sekolahnya. Dia yang terbiasa membawa nasi ke sekolah untuk menghemat makan siang. Dia yang terbiasa dengan makanan yang biasa-biasa saja. Dia yang sederhana, pekerja keras, dan keras kepala.
Kesibukannya bekerja tentu saja tidak menghalangi dia untuk berprestasi. Dari SD hingga SMA dia sudah terbiasa dengan gelar juara. Bahkan--menurut cerita ibunya--ketika SD dia sudah menjadi juara mapel matematika tingkat kabupaten.
Sampai disini saya semakin salut ...

Dan hal lain yang saya belajar darinya adalah tentang keramahan. Dia yang--sepertinya--mengenal hampir semua orang di desanya, dia yang bisa beramah-tamah dengan semua orang yang dia temui--padahal saya sangat tidak bisa melakukannya....dsb dsb

Maka, hanya rasa kagum yang bisa saya berikan kepadanya. Dan sampai disini ternyata saya menemukan jawabannya. Jawaban kenapa saya harus bertemu orang asing yang ternyata adalah guru kehidupan bagi saya, guru tentang kesederhanaan, guru tentang kerja keras, kekeluargaan dan kasih sayang. Terimakasih sahabat,, surat itu memang kesalahan terbesar saya...kenapa saya baru menuliskannya sekarang-sekarang ini, tidak dari dulu. Dan kamu tahu, bahwa itu adalah kesalahan terindah ... karena saya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga untuk saya coba terapkan di kehidupan saya ...
terimakasih

2 komentar:

  1. Indahnya hati yang masih mampu menerjemahkan kesalahan menjadi sebuah pelajaran,
    Pertemuan menjadi sebuah keindahan,
    Semua terangkum dalam satu,,

    Berkah...

    BalasHapus
  2. yup,, betul bgt. thx kawan ...

    BalasHapus